Tunggu Tubang Tradisi Semende Jadi Film Dokumenter ‘Mother Earth’

Posted on

Film Dokumenter berjudul ‘Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang‘ mengangkat tradisi leluhur masyarakat adat Semende, Muara Enim. Pemutaran perdana berlangsung di Gedung Auditorium UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang, Senin (15/19/2025).

Mother Earth merupakan film dokumenter karya komunitas Ghompok Kolektif yang didukung Kementerian Kebudayaan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Dana Indonesia, sebagai bagian dari upaya memperkuat riset, seni, dan kebudayaan melalui medium film.

Film Dokumenter Mother Earth menceritakan tentang calon Tunggu Tubang bernama Sangkut yang dilema antara lanjut sekolah ke perguruan tinggi atau tetap di desa menjadi Tunggu Tubang. Gejolak menentukan jalan hidup membuatnya memberanikan diri bercerita kepada kedua orangtua. Ia menyuarakan keinginan untuk sekolah ke luar kota.

Untuk menggapai cita-cita itu, Sangkut harus meminta restu kepada tetua leluhur (meraje hingga nining meraje). Ia mendapatkan nasihat mulia untuk bekal hidup di tanah rantau dan juga diingatkan agar tetap menjalankan tugas sebagai Tunggu Tubang ketika sudah menikah nanti.

Perwakilan Ghompok Kolektif, Ahmad Rizky Prabu, menjelaskan film ini digarap selama kurang lebih setahun sejak Desember 2024 oleh hampir 20 kru.

“Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal, seperti tradisi Tunggu Tubang, bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup yang relevan hingga hari ini,” ujarnya.

Tunggu Tubang adalah sistem adat Semende yang mengatur pengelolaan harta warisan leluhur dan keluarga besar (apit jurai) kepada anak perempuan tertua yang ditetapkan oleh tetua adat setelah berlangsung pernikahan. Adapaun warisan yang dijaga Tunggu Tubang berupa sawah, tebat, kebun, dan harta pusaka.

Lewat narasi visual yang kuat, film Mother Earth menyoroti bagaimana kearifan lokal Semende menjaga hubungan manusia dengan alam sekaligus menjawab tantangan modernisasi.

Sutradara Mother Earth, Muhammad Tohir, menegaskan bahwa film ini berangkat dari cerita Tunggu Tubang yang menjadi bagian penting dalam sistem adat masyarakat Semende.

“Sistem ini sudah berjalan selama ratusan tahun, namun masih relevan dengan kondisi hari ini. Dan sangat mungkin menjadi jawaban atas kekhawatiran masyarakat global akan krisis pangan di masa depan,” kata Tohir.

Ia menjelaskan, film ini digarap dengan pendekatan dokumenter non-naratif yang memvisualisasikan fakta dan data tentang kisah-kisah di Semende.

“Kami berharap film ini bisa menjadi benchmark baru dalam dunia sineas Palembang. Saya sangat bersyukur melihat antusiasme penonton yang menyambut film ini dengan positif. Terima kasih kepada kawan-kawan yang terlibat dalam penciptaan film Mother Earth dan buku foto Badah Puyang. Terutama kepada keluarga baru kami, masyarakat Semende, yang selama satu tahun ini kami repotkan,” tambahnya.

Acara pemutaran film Mother Earth dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto yang diwakili Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah, Dian Permata Suri; serta Pamong Budaya Ahli Pertama BPK, Dedi Afrianto. Kegiatan ini berkolaborasi dengan UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang.

Dian Permata Suri menyampaikan film ini menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian tradisi Tunggu Tubang yang saat ini tengah diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

“InsyaAllah Tunggu Tubang akan lolos seleksi WBTB tahun 2026. Kami berterima kasih kepada Ghompok Kolektif yang sudah mengangkat tradisi ini sehingga dapat memperkuat pengusulan tersebut,” katanya.

Sementara itu, Dedi Afrianto menambahkan bahwa proyek Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang adalah salah satu pemenang nasional dari banyak proposal budaya yang diajukan ke Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia.

“Saya tahu betul proses pengusulan karya ini membutuhkan usaha yang lama. Ada banyak hal yang perlu disiapkan. Kami berharap karya-karya seperti ini terus lahir dari Sumatera Selatan,” ujarnya.

Eliana, warga asli Semende sekaligus pemeran salah satu karakter di film Mother Earth berkomitmen akan menjaga dan melestarikan Tunggu Tubang. Ia menegaskan bahwa Tunggu Tubang akan selalu ada dan tidak akan tumbang.

“InsyaAllah, kami bersama masyarakat Semende akan terus menjaga dan melestarikan Tunggu Tubang,” tegasnya.

Selain pemutaran film, acara juga menghadirkan diskusi bersama peneliti Dian Maulina (dosen UIN Raden Fatah) serta fotografer dan penulis buku Badah Puyang yaitu Ahmad Rizki Prabu dan Yuni Rahmawati.

Diskusi ini jug menekankan pentingnya dokumentasi budaya, peran perempuan dalam sistem adat, serta relevansi nilai-nilai tradisi dalam menjaga pangan dan lingkungan.

Dengan dukungan LPDP dan Dana Indonesia, film ini diharapkan menjadi sarana edukasi, refleksi, sekaligus inspirasi bagi masyarakat luas dalam menjaga keberlanjutan bumi dan kebudayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *