Kanker usus merupakan salah satu penyakit yang perlahan tapi pasti menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Penyakit ini sering kali tidak menimbulkan gejala pada tahap awal, sehingga banyak orang baru menyadarinya ketika sudah lebih parah.
Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kasus kanker usus terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Pola makan modern yang cenderung tinggi lemak, rendah serat, serta kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol menjadi salah satu faktor pendorong utama.
Meski kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini mulai meningkat, masih banyak yang belum memahami sepenuhnya bagaimana kanker usus berkembang, apa saja tanda-tandanya, dan bagaimana cara mencegahnya. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami penyakit ini agar dapat lebih waspada terhadap risiko kanker usus.
Menurut National Cancer Institute (NCI), kanker usus termasuk jenis kanker yang paling umum di dunia dan menjadi penyebab kematian nomor dua akibat kanker setelah kanker paru-paru. Sel kanker yang tumbuh di usus besar dapat menyebar ke jaringan sekitar, bahkan ke organ lain seperti hati dan paru-paru melalui aliran darah.
Kanker usus adalah pertumbuhan sel-sel yang tidak wajar dan tidak terkendali pada jaringan usus besar atau rektum, berfungsi menyerap air dan menyimpan sisa makanan sebelum dikeluarkan dari tubuh. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan karena itu deteksi dini melalui pemeriksaan medis seperti kolonoskopi sangat penting dilakukan.
Dilansir dari jurnal Gastroenterology tahun 2023, kanker usus umumnya terbagi menjadi dua kategori besar, yaitu kanker kolon (yang terjadi pada bagian usus besar) dan kanker rektum (yang terjadi pada bagian akhir usus sebelum anus). Kedua jenis ini sering kali dikelompokkan bersama karena memiliki karakteristik dan pola perkembangan yang hampir sama.
Gejala kanker usus sering kali samar dan mirip dengan gangguan pencernaan biasa, seperti wasir, infeksi usus, atau sindrom iritasi usus besar (IBS). Hal inilah yang menyebabkan banyak penderita datang ke dokter ketika kanker sudah berkembang cukup jauh.
1. Diare dan Sembelit Berkepanjangan
Beberapa tanda umum kanker usus antara lain perubahan pola buang air besar, seperti diare yang berlangsung lama, sembelit berkepanjangan, atau rasa tidak tuntas saat buang air besar. Tinja yang disertai darah, baik tampak merah terang maupun berwarna gelap seperti kopi, juga menjadi tanda khas yang perlu diwaspadai. Selain itu, penderita sering mengalami kram atau nyeri perut yang tidak kunjung reda, kembung, dan penurunan berat badan tanpa sebab jelas.
2. Rasa Lemas, Lesu, dan Lelah terus menerus
Gejala lainnya meliputi rasa lemas yang terus-menerus, mudah lelah, dan kadang-kadang anemia akibat kehilangan darah dalam jumlah kecil namun berulang. Dalam penelitian yang diterbitkan oleh British Journal of Cancer, disebutkan bahwa sekitar 80 persen pasien kanker usus melaporkan adanya perubahan kebiasaan buang air besar lebih dari dua minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Seringkali fases berbecak darah juga menjadi tanda kemudian mneyebabkan anemia.
3. Perut Membesar
Gejala kanker usus pada stadium lanjut bisa lebih berat. Penderita dapat mengalami penyumbatan usus, perut membesar, hingga muntah akibat tidak lancarnya aliran sisa makanan di sistem pencernaan. Dalam kondisi seperti ini, tindakan medis darurat biasanya dibutuhkan.
Penyebab pasti kanker usus memang belum diketahui secara pasti, namun para peneliti telah menemukan sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan risikonya.
Faktor pertama yang paling dominan adalah usia. Berdasarkan data dari The Lancet Oncology (2023), risiko kanker usus meningkat signifikan setelah seseorang berusia 50 tahun. Meski demikian, dalam dekade terakhir, kasus pada usia muda juga meningkat akibat gaya hidup yang tidak sehat.
Faktor kedua adalah riwayat keluarga dan genetik. Seseorang yang memiliki anggota keluarga seperti orang tua atau saudara kandung yang pernah mengidap kanker usus memiliki risiko dua hingga tiga kali lebih besar untuk terkena penyakit yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya mutasi genetik yang bisa diwariskan, seperti mutasi pada gen APC atau MLH1.
Selain itu, pola makan juga memainkan peran penting. Konsumsi daging merah dan makanan olahan yang berlebihan, seperti sosis, daging asap, dan makanan cepat saji, diketahui dapat meningkatkan risiko kanker usus. Proses pengolahan dan pembakaran daging pada suhu tinggi menghasilkan senyawa karsinogenik seperti heterocyclic amines (HCA) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang dapat merusak DNA sel.
Tidak kalah penting, penyakit peradangan usus seperti kolitis ulseratif dan Crohn’s disease juga termasuk faktor risiko kuat. Peradangan kronis yang berlangsung lama dapat menyebabkan perubahan sel di dinding usus, yang lama-kelamaan dapat berubah menjadi kanker.
Faktor lain yang juga berperan meliputi kurangnya aktivitas fisik, kegemukan, kebiasaan merokok, serta konsumsi alkohol berlebih. Merokok misalnya, mempercepat proses mutasi sel dan melemahkan sistem kekebalan tubuh, sementara alkohol dapat merusak lapisan pelindung usus dan memicu peradangan kronis.
Pengobatan kanker usus sangat tergantung pada stadium penyakit saat diagnosis ditegakkan. Bila kanker masih berada pada tahap awal, pengangkatan polip melalui prosedur kolonoskopi bisa menjadi solusi efektif. Namun, jika kanker sudah menyebar lebih luas, tindakan medis lanjutan akan diperlukan. Menurut Mayo Clinic dalam publikasi tahun 2024, pengobatan kanker usus umumnya melibatkan kombinasi antara operasi, kemoterapi, radioterapi, dan imunoterapi.
Operasi menjadi pilihan utama untuk mengangkat bagian usus yang terinfeksi kanker beserta jaringan di sekitarnya. Dalam beberapa kasus, dokter juga perlu mengangkat kelenjar getah bening untuk memastikan tidak ada sel kanker yang tertinggal.
Kemoterapi digunakan setelah operasi untuk membunuh sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa di tubuh. Meski sering menyebabkan efek samping seperti rambut rontok, mual, dan kelelahan, kemoterapi terbukti meningkatkan tingkat kesembuhan secara signifikan.
Radioterapi, di sisi lain, lebih sering digunakan untuk kasus kanker rektum karena efektif dalam mengecilkan tumor sebelum operasi atau menghancurkan sisa sel kanker setelah operasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, terapi target dan imunoterapi menjadi terobosan baru dalam dunia onkologi. Terapi target bekerja dengan menyerang sel kanker berdasarkan karakteristik genetik tertentu, sementara imunoterapi memperkuat sistem kekebalan tubuh untuk melawan sel-sel ganas.
Mencegah kanker usus sebenarnya tidak sulit, asal dilakukan dengan disiplin dan konsisten. Berdasarkan buku Clinical Oncology: Principles and Practice (Edisi 2022), perubahan gaya hidup terbukti dapat menurunkan risiko kanker usus hingga 40 persen. Salah satu langkah paling penting adalah memperbaiki pola makan.
Konsumsi makanan tinggi serat seperti buah-buahan, sayuran hijau, kacang-kacangan, dan biji-bijian dapat membantu melancarkan sistem pencernaan dan mempercepat pembuangan sisa makanan dari usus. Serat juga berfungsi mengikat zat karsinogen dalam makanan sehingga tidak terserap tubuh. Sebaliknya, batasi konsumsi daging merah, makanan berlemak tinggi, dan makanan cepat saji.
Aktivitas fisik juga berperan penting. Rutin berolahraga minimal 30 menit setiap hari dapat meningkatkan metabolisme tubuh dan menjaga berat badan ideal. Orang yang aktif secara fisik memiliki risiko lebih rendah terkena kanker usus dibandingkan mereka yang menjalani gaya hidup jarang bergerak.
Kebiasaan sehat lain seperti berhenti merokok, membatasi alkohol, dan mengelola stres juga turut berpengaruh. Selain itu, pemeriksaan rutin sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun atau memiliki riwayat keluarga dengan kanker usus. Tes kolonoskopi merupakan cara paling efektif untuk mendeteksi polip atau tanda-tanda awal kanker sebelum berkembang menjadi parah.
Kanker usus memang tergolong penyakit serius, namun bukan berarti tidak bisa dicegah atau diobati. Kesadaran untuk memeriksakan diri secara berkala dan memperhatikan perubahan kecil pada tubuh bisa menjadi penyelamat nyawa. Dalam banyak kasus, pasien yang terdiagnosis pada tahap awal memiliki tingkat kelangsungan hidup hingga lebih dari 90 persen.