Bolehkan Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal? Berikut Jawabannya

Posted on

Di Indonesia masyarakat hidup berdampingan terlepas agama apa yang dipeluk. Menjelang Hari Natal, kerap menjadi pertanyaan bolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal?

Dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, ucapan Selamat Natal sering dipandang sebagai etika sosial. Selain itu juga sebagai bentuk penghormatan kepada tetangga, rekan kerja, atau kerabat.

Dilema ini menjadi permasalahan sendiri untuk umat Islam. Apakah hukumnya diperbolehkan atau dilarang? Berikut ulasan terkait pertanyaan bolehkah umat Islam mengucapkan selamat Natal. Simak rangkuman informasi berikut ini.

Permasalahan mengenai hukum mengucapkan Selamat natal bagi umat Islam sering muncul menjelang perayaan Natal. Perdebatan ini umumnya berpusat pada apakah ucapan tersebut termasuk toleransi sosial atau bentuk pengakuan terhadap akidah agama lain.

Dalam Islam, prinsip dasar yang mengatur hubungan dengan umat agama lain adalah ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia) dan toleransi. Namun, batasan antara urusan sosial dan urusan keimanan menjadi kunci dalam menentukan hukumnya.

Nahdlatul Ulama (NU) melalui Lembaga Bahtsul Masail sering memberikan panduan mengenai isu-isu kontemporer, termasuk ucapan selamat Natal. Secara umum, pendapat yang dominan di lingkungan NU cenderung membolehkan ucapan Selamat Natal, dengan catatan berikut ini:

1. Toleransi Sosial (Muamalah)

Ucapan Selamat Natal dipandang sebagai bagian dari interaksi sosial yang baik (muamalah), bukan sebagai pengakuan terhadap teologi trinitas atau dogma Kristen. Tujuannya adalah menjaga kerukunan dan harmoni antarumat beragama.

2. Tidak Mengubah Akidah

Memberikan ucapan selamat tidak berarti seorang Muslim berpindah keyakinan atau membenarkan keyakinan agama lain. Akidah tetap teguh dalam keesaan Allah SWT (tauhid).

3. Hukum Dasar Boleh (Mubah)

Sebagian besar ulama NU menilai ucapan ini hukumnya mubah (boleh) selama tidak ada niat untuk mengagungkan ritual agama lain atau mencampuradukkan akidah.

Berdasarkan tinjauan dari NU Online Jawa Timur, terdapat pandangan ulama Syafi’iyah, khususnya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, yang membedakan niat ucapan.

Menurut pandangan ini, jika ucapan tersebut diberikan sebagai bentuk persahabatan dan bahkan untuk memuliakan hari raya keagamaan mereka, maka hukumnya tidak haram (boleh/mubah).

Jika ucapan diniatkan untuk mengagungkan syiar agama mereka, maka baru dapat dinilai haram. Sikap ini menunjukkan pentingnya niat dalam setiap perbuatan, yang merupakan salah satu kaidah fikih utama.

Dikutip dari berbagai kajian dan Bahtsul Masail NU, sikap toleransi menjadi prioritas dalam konteks sosial di Indonesia yang majemuk.

Meskipun secara tidak ada fatwa tunggal dan mengikat yang melarang total ucapan Selamat Natal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sering kali mengeluarkan imbauan yang lebih berhati-hati.

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, MUI memiliki fatwa yang membahas larangan mencampuradukkan ibadah dan ritual antaragama (Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2021 tentang Hukum dan Panduan Bermuamalah dengan Non-Muslim).

1. Menghindari Pluralisme Agama

Ditekankan untuk menghindari praktik pluralisme agama yang menganggap semua agama sama benarnya.

2. Aktivitas Ibadah Khusus

Umat Islam disarankan untuk tidak mengikuti atau terlibat dalam ritual ibadah Natal, seperti mengikuti misa atau menggunakan atribut Natal.

3. Ucapan Adalah Pilihan Individual

Mengenai ucapan, MUI umumnya menyerahkan keputusan kepada Muslim secara individual, dengan menekankan prinsip kehati-hatian agar tidak melanggar batasan akidah.

Sebagian ulama klasik berpegangan pada kaidah sadd adz-dzari’ah, yaitu menutup celah yang dapat menjerumuskan pada hal yang dilarang. Dalam konteks ini ucapan selamat dikhawatirkan dapat menjadi celah menuju pengakuan terhadap keyakinan selain Islam.

Ulama yang berpandangan demikian cenderung mengharamkan ucapan selamat Natal untuk menjaga kemurnian akidah. Namun, ulama kontemporer yang moderat, seperti yang banyak ditemukan di kalangan NU dan akademisi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), menggunakan pendekatan mashlahah mursalah (kemaslahatan umum).

Dalam konteks Indonesia, ucapan selamat dianggap sebagai bentuk kebaikan sosial yang tidak merusak akidah.

Para ahli fikih kontemporer melihatnya sebagai ucapan selamat atas hari libur mereka. Mereka berpendapat, selama niatnya murni muamalah (hubungan sosial), maka hukum asalnya adalah boleh.

Dalam konteks negara Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan, hukum mengenai ucapan Selamat Natal cenderung dibagi menjadi tiga pendapat utama yang dapat menjadi panduan:

Jika diniatkan sebagai bentuk persahabatan, toleransi sosial, dan menjaga kerukunan. Ini adalah pendapat yang banyak dipegang oleh kalangan moderat, dengan merujuk pada kaidah fikih yang dipraktikkan oleh ulama syafi’iyah.

Jika khawatir ucapan tersebut dapat mengarah pada keraguan akidah atau dianggap mengagungkan hari raya agama lain.

Jika ucapan tersebut disertai niat untuk membenarkan ajaran agama lain atau ikut serta dalam ibadah ritual.

Meskipun ada perbedaan pendapat yang kuat, kecenderungan di Indonesia adalah mengedepankan toleransi sosial tanpa melanggar prinsip tauhid. Keputusan kembali kepada kesadaran dan niat masing-masing individu.

Demikianlah rangkuman informasi terkait pertanyaan bolehkan umat islam mengucapkan selamat natal. Gunakan dengan bijak, semoga bermanfaat!

Artikel ini dibuat oleh Annisaa Syafriani, mahasiswa magang Prima PTKI kementerian Agama.

Ucapan Selamat Natal dalam Perspektif Islam

A. Pandangan Nahdlatul Ulama (NU)

B. Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Kesimpulan Hukum dalam Konteks Indonesia

1. Boleh (Mubah)

2. Makruh (Sebaiknya Ditinggalkan)

3. Haram (Dilarang)