Heboh postingan di media sosial Facebook terkait praktik jual beli pulau di Provinsi Lampung. Bahkan penjual mengatakan pulau tersebut bersertifikat Sertifikat Hak Milik (SHM).
Adapun pulau yang dipasarkan yakni Pulau Batu Kecil yang berada di Desa Bandar Dalam, Kecamatan Pulau Pisang, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.
Dalam postingan di akun Toni Arianto Sr., sang penjual menawarkan harga Rp 3,5 miliar untuk pulau tersebut.
“Dijual cepat, Pulau Batu Kecil, Desa Bandar Dalam, Kecamatan Pulau Pisang, Kabupaten Pesisir Barat. Luas lahan 10 hektare, legalitas SHM. Cocok untuk tempat wisata dan lain-lain. Harga Rp 3,5 miliar,” dalam unggahan tersebut.
Akademisi hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga menegaskan bahwa pulau tidak bisa diperjualbelikan menurut hukum Indonesia.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Pulau kecil tidak bisa dijual. Yang bisa dijual itu hanya bidang tanah tertentu di atas pulau, itupun harus memenuhi syarat penguasaan fisik dan sertifikat yang benar,” kata Rifandy.
Menurut Rifandy, sejumlah regulasi sudah tegas melarang pemindahan hak milik atas pulau kecil, mulai dari Perpres 34/2019, Permen KP 10/2024, Permen ATR/BPN 17/2016, hingga UUPA 1960. Aturan-aturan ini menyatakan bahwa pulau bukan objek hak atas tanah dan tidak dapat dimiliki secara privat.
Ia juga menyoroti klaim soal keberadaan SHM seluas 10 hektare yang disebut mencakup seluruh pulau. Rifandy mengingatkan bahwa negara wajib menguasai minimal 30 persen dari luas pulau kecil, sehingga SHM yang melingkupi keseluruhan pulau patut dicurigai dan perlu diverifikasi.
“Ini harus dicek betul. Bisa saja ada maladministrasi. Masyarakat jangan sampai terjebak transaksi yang bertentangan dengan hukum agraria ataupun aturan zonasi wilayah pesisir,” ujarnya.
Rifandy turut menyinggung isu penjualan pulau kepada warga negara asing (WNA) yang kerap muncul di lapangan. Ia menegaskan WNA tidak bisa memiliki hak milik atas tanah, apalagi pulau kecil.
“Kalau penawaran ini diarahkan ke pihak asing, itu jelas melanggar hukum. WNA tidak boleh punya tanah, apalagi pulau,” tegasnya.
Rifandy mengimbau masyarakat maupun pemerintah daerah untuk melakukan pengecekan langsung ke BPN, memverifikasi peta bidang, zonasi pesisir, dan memastikan semua dokumen legal sebelum menindaklanjuti informasi penjualan pulau.
Ia menekankan pentingnya edukasi publik agar masyarakat tidak mudah tertipu dan untuk menjaga kepentingan negara terhadap wilayah pulau kecil.
Dalam penelusuran infoSumbagsel di halaman website KKP. go.id, aturan penguasaan pulau memiliki regulasi yang ketat.
Sejak tahun 2019 juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 yang membatasi luasan pemanfaatan lahan di pulau-pulau kecil paling sedikit 30 persen dari luas pulau dikuasai langsung oleh negara, dan yang dapat dimanfaatkan paling banyak adalah 70 persen dari luas pulau.
Dari 70 persen yang dapat dimanfaatkan tersebut, pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen untuk ruang terbuka hijau. Dengan demikian, luasan lahan pulau kecil yang dapat dimanfaatkan sebenarnya hanya 49 persen.
Pengaturan ini juga diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing.
Pengaturan pertanahan di pulau kecil telah diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
Dalam Pasal 194 disebutkan bahwa ‘Pemberian Hak Atas Tanah atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai tidak dapat diberikan kepada 1 (satu) orang atau badan hukum’.
Artinya, secara tegas Pemerintah Indonesia melarang adanya praktik jual beli pulau secara utuh karena pulau adalah bagian dari kedaulatan negara.
Namun pemerintah mengizinkan pengelolaan terbatas melalui izin sewa atau Hak Guna Usaha/Bangunan dengan syarat ketat, termasuk kewajiban menyisakan 30% area untuk publik/negara dan rekomendasi dari KKP, sesuai UU 27/2007 jo. UU 1/2014 dan Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021.
Individu atau badan hukum asing tidak boleh memiliki tanah di pulau, hanya bisa melalui badan hukum Indonesia dan izin pengelolaan.







