Hak Jawab Kuasa Hukum Atas Kondisi Terkini Haji Alim dan Pelimpahannya

Posted on

Ketua Tim Penasehat Haji Abdul Halim Ali, Jan S Maringka memberikan hak jawab atas pemberitaan infoSumbagsel berjudul Haji Alim Segera Disidang Kasus Korupsi Pemalsuan Surat Tanah di Jalan Tol. Dia menekankan bahwa kondisi kliennya saat ini masih dirawat intensif di rumah sakit.

Haji Alim sendiri diketahui diduga terlibat dalam kasus korupsi pemalsuan dokumen surat tanah Jalan Tol Betung, Tempino-Jambi. Penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin Nomor: PRINT-242/L.6.16/Fd.1/02/2025 tanggal 17 Februari 2025.

Berikut isi surat Hak Jawab No B-048/JMP/XI/2025 tanggal 27 November 2025 yang dilayangkan kuasa hukum Haji Alim, Jan S Maringka:

Jan S Maringka menyebut kondisi H Halim saat pelimpahan tahap II dalam keadaan lemah tak berdaya karena berada dalam perawatan di RSU Fatimah Palembang, selama hampir satu tahun sejak November 2024.

Bahkan pada masa perawatan terjadi penangkapan terhadap klien dilakukan di RSUD Siti Fatimah Palembang 10 Maret 2025, yang bersangkutan masih berada dalam perawatan medis, akibat sakit berat menahun yang dideritanya dan penahanan ini diikuti dengan pemberitaan negatif yang dirasakan sangat merendahkan martabatnya.

Meskipun kliennya berusia 88 tahun dan bergantung pada alat bantu oksigen, penyidik tetap memaksakan pemeriksaan dan dilanjutkan dengan penahanan, namun ia bersyukur Rutan Pakjo Palembang menolak tindakan penyidik karena alasan medis maka pasien harus ditangani dengan peralatan kesehatan sehingga penyidik menetapkan status pembantaran serta pemasangan ankle monitor yang saat ini telah berlangsung lebih dari 9 bulan hingga saat ini.

Karena itu, menurutnya, proses pelimpahan ke tahap penuntutan ini juga terlalu sumir masalah pembebasan lahan untuk kepentingan umum di lahan HGU milik Kms Haji Halim Ali seharusnya dilakukan secara konsinyasi bukan dengan cara-cara kriminalisasi seperti ini.

Pada umumnya dalam pembebasan lahan demi kepentingan umum dilakukan mekanisme konsinyasi apabila terjadi keragu-raguan atas kepemilikan lahan yang akan dibebaskan, dalam kasus ini tidak ada pihak manapun yang mengakui atau melakukan klaim kepemilikan atas lahan maupun tanaman tumbuhan yang ada di atas kebun milik klien tersebut.

Kasus ini nyata-nyata dipaksakan dan ada terkesan mengada-ada karena sekian lama menunggu tidak ditemukan unsur kerugian negara yang nyata yang dituduhkan kepada klien ini.

Perintah pelimpahan perkara dari tahap Penyidikan ke tahap penuntutan menjadi pintu masuk bagi kejaksaan untuk melakukan penelitian kembali atas tindakan-tindakan penyidik setelah berkas perkara dinyatakan lengkap, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 139 KUHAP setelah penuntut umum menerima berkas perkara setelah dinyatakan lengkap dari penyidik, ia dapat segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan.

Namun apabila penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka Jaksa Penuntut Umum wajib membuat surat ketetapan.

Demikian pula apabila ditemukan beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan lainnya, maka penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara atau membuatnya dalam satu surat dakwaan apabila terjadi dalam waktu yang sama sesuai dengan ketentuan Pasal 141 KUHAP.

Dalam konteks ini lah diperlukan jaksa penuntut umum dengan hati nurani untuk melihat dengan sebenar-benarnya apakah benar Haji Abdul Halim Ali melakukan pemalsuan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF) di atas lahan seluas 37 Ha dari 12.700 Ha kebun sawit yang dimilikinya berdasarkan HGU No 1 tahun 1997.

Harusnya penyidik menuntaskan dulu seluruh unsur pidana, terutama mengenai nilai kerugian negara, sebelum melimpahkan berkas seutuhnya.

Dia berharap kehadiran Kajati Sumsel Ketut Sumedana kami percaya bahwa pelimpahan perkara ini ke tahap penuntutan adalah untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi klien kami yang sudah dibantarkan selama lebih dari sembilan bulan sambil menunggu para penyidik mencari-cari unsur kerugian keuangan negara, dan setelah kesulitan dalam mencari unsur kerugian negara selama ini, maka baru sekarang dilimpahkan ke tahap penuntutan untuk dikaji kembali apakah akan disidangkan dengan pasal pemalsuan dokumen atau tetap akan digabungkan dengan pasal-pasal lain nantinya.

Menurutnya, langkah Kejari Muba selama ini terkesan memaksakan kehendak dan harusnya proses hukum berjalan sesuai prinsip praduga tidak bersalah.

Pihaknya juga menyoroti adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami kliennya selama masa pembantaran, selain penjagaan juga dilakukan pemasangan CCTV di dalam kamar Haji Abdul Halim Ali sejak sekitar sepekan terakhir.

“Ini jelas melanggar privasi dan hak dasar seorang tahanan. Perlakuan lain yang dinilai tidak manusiawi, yakni pemakaian borgol di kaki Haji Abdul Halim Ali selama pembantaran, seolah kliennya seperti penjahat kelas kakap. Padahal, dengan usia Haji Abdul Halim Ali yakni 88 Tahun, tidak mungkin untuk melarikan diri, berdiri sendiri saja ia tidak mampu,” pungkasnya.