Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) terus mengembangkan teknologi padi apung sebagai inovasi pertanian untuk meningkatkan indeks pertanaman di lahan rawa. Terlebih, 73% luas lahan baku sawah (LBS) Sumsel adalah rawa.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono mengatakan padi apung menjadi salah satu solusi menghadapi kondisi iklim. Kualitasnya juga sama dengan hasil padi di media tanam lain.
“Padi apung ini akan terus kita kembangkan. Meskipun secara ekonomis belum menguntungkan karena media apungnya masih mahal, namun potensinya sangat besar untuk lahan rawa di Sumsel,” ujar Bambang.
Bambang menjelaskan saat ini media yang digunakan untuk padi apung antara lain styrofoam, plastik, dan HDF, yang memang masih memiliki biaya tinggi. Namun, penggunaan styrofoam cukup efisien karena dapat dipakai hingga 10 kali panen atau sekitar 5 tahun.
“Dengan perhitungan itu, ke depan biaya bisa lebih murah dan kita berharap teknologi ini bisa dikembangkan secara masif,” katanya.
Dia mengatakan jika pihaknya menggandeng Universitas Sriwijaya (Unsri) dan sejumlah perguruan tinggi lain di Sumsel untuk meneliti bahan media apung alternatif yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
“Sekarang kita fokus mencari media apung yang paling optimal. Kalau tantangan biaya bisa kita atasi, maka teknologi ini bisa diterapkan secara lebih luas,” jelasnya.
Menurut Bambang, pengembangan padi apung diyakini dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) di Sumsel yang saat ini baru mencapai 1,22 kali tanam per tahun.
“Artinya baru 22% lahan yang bisa tanam 2 kali dalam setahun. Kalau padi apung berhasil, IP bisa meningkat menjadi 1,5 atau bahkan 100%,” katanya.
Dia menuturkan, inovasi ini akan membantu petani tetap bisa berproduksi meski di tengah curah hujan tinggi dan kondisi lahan tergenang air. Petani tak perlu khawatir lahannya terendam banjir.
“Padi apung bisa jadi solusi berkelanjutan bagi lahan rawa kita. Mudah-mudahan ke depan hasilnya makin baik dan bisa diterapkan lebih luas,” tukasnya.







