Peristiwa G30S mengguncang stabilitas politik nasional, serta merenggut nyawa para perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat. Inilah 10 profil Pahlawan Revolusi di balik peristiwa G30S.
Sejarah bangsa Indonesia diwarnai oleh berbagai peristiwa heroik dan juga tragis. Salah satu babak paling kelam yang tak akan pernah terhapus dari ingatan adalah Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanan tertinggi mereka, negara menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi. Kisah mereka bukanlah sekadar catatan kaki dalam buku sejarah, melainkan teladan nyata tentang loyalitas, integritas, dan keberanian.
Pahlawan Revolusi adalah putra bangsa yang berdiri di garda terdepan melawan upaya penggantian ideologi negara. Bagi generasi masa kini, nama-nama mereka mungkin lebih akrab sebagai nama jalan, monumen, atau gedung tanpa memahami esensi perjuangan di baliknya.
Mari kita selami lebih jauh profil 10 pahlawan revokusi di baluk peritiwa G30S berdarah tersebut untuk menghayati kembali nilai-nilai luhur yang mereka wariskan. Berikut adalah profil lengkap kesepuluh Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi G30S.
Ahmad Yani memiliki pangkat atau jabatan terakhir sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922, Ahmad Yani adalah seorang prajurit tulen yang kariernya meroket berkat kecerdasan strategis dan keberaniannya di medan perang.
Ia adalah komandan yang berhasil memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat, sebuah operasi militer yang sangat sulit. Sebagai panglima ia dikenal tegas, disiplin, nasionalis, dan disegani.
Berdasarkan buku Memoar Jenderal Yoga yang ditulis oleh Yoga Soegomo, Jenderal Yani dikenal sangat menentang gagasan dari PKI untuk membentuk Angkatan Kelima, yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai, karena dianggap akan merusak hierarki dan profesionalisme militer.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumahnya dikepung oleh pasukan Tjakrabirawa. Ketika diminta menghadap presiden, Jenderal Yani marah karena cara mereka yang kasar dan tidak sesuai prosedur militer.
Ia menampar salah satu prajurit dan berbalik untuk berganti pakaian. Saat itulah, ia ditembak secara brutal dari belakang hingga gugur seketika di ruang makan rumahnya.
Menjabat sebagai deputi II Menteri/Pangad (Bidang Administrasi), Jendral Soeprapto juga turut serta dalam peristiwa G30S. Lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920, Soeprapto adalah sosok perwira yang dikenal sangat tenang, sederhana, dan taat beribadah.
Pengalaman tempurnya sangat kaya, salah satunya adalah saat ia ikut berjuang dalam Pertempuran Ambarawa dan sempat menjadi tawanan tentara Inggris. Sifatnya yang kalem namun tegas membuatnya dihormati.
Pada malam penculikan, ia sedang menggarap naskah pidato. Gerombolan penculik yang datang ke rumahnya menipunya dengan mengatakan ia dipanggil oleh Presiden Soekarno dalam keadaan darurat.
Tanpa menaruh curiga berlebih, ia mengikuti mereka, hanya untuk dibawa paksa ke Lubang Buaya dan dihabisi secara keji.
Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia adalah seorang perwira intelektual. Pada saat itu, ia memiliki jabatan sebagai deputi III Menteri/Pangad (Bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Kemampuan yang luar biasa dalam menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman membuatnya sering menjadi ujung tombak diplomasi militer Indonesia dalam berbagai perundingan internasional.
Ketika para penculik mendobrak pintu rumahnya, M.T. Haryono sempat melawan dengan gagah berani. Ia berhasil merebut senjata salah satu penculik, namun karena kalah jumlah, ia didorong hingga jatuh dan langsung ditembak mati oleh anggota Tjakrabirawa lainnya. Jasadnya diseret dari dalam rumahnya dan dilemparkan ke dalam truk.
Siswondo Parman merupakan asisten I Menteri/Pangad (Bidang Intelijen). Lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918, S. Parman adalah otak intelijen Angkatan Darat.
Posisinya yang strategis membuatnya mengetahui banyak seluk-beluk kegiatan PKI, termasuk upaya penyusupan mereka ke dalam tubuh ABRI (TNI saat itu).
Ironis, kakak kandungnya sendiri, Sakirman, adalah seorang tokoh penting di Politbiro CC PKI. Namun, hal ini tidak menggoyahkan loyalitas S.
Parman kepada negara dan TNI. Ia diculik dari rumahnya dengan tipu muslihat bahwa ada rapat mendadak di istana. Ia menolak berganti pakaian dan tetap mengenakan piyama, seolah memiliki firasat buruk.
Seorang asisten IV Menteri/Pangad (Bidang Logistik) dengan nama lengkap Donald Isaac Panjaitan, lahir di Balige, Tapanuli, pada 19 Juni 1925. Ia adalah seorang perwira yang sangat peduli pada pembinaan mental dan rohani prajurit.
Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang.
Ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.
Salah satu jasa yang terbesar adalah ketika ia berhasil membongkar upaya penyelundupan puluhan ribu pucuk senjata ringan dari Tiongkok yang diduga kuat akan digunakan oleh PKI.
Dilansir dari buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, pada malam penculikan, Brigjen Panjaitan (pangkatnya saat itu) sudah bersiap dengan seragam militernya.
Sebelum keluar menghadapi gerombolan bersenjata, ia sempat berlutut dan berdoa di lantai atas rumahnya, seolah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Ia ditembak mati tepat di halaman rumahnya sendiri.
Mayor Sutoyo lahir di Kebumen, 28 Agustus 1922, Sutoyo Siswomiharjo adalah penegak hukum di lingkungan militer. Ia dikenal sebagai sosok yang lurus, jujur, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan.
Karakter yang tegas membuatnya menjadi salah satu target. Ia diculik dengan paksa dari rumahnya, juga dengan modus dipanggil oleh Presiden.
Ia dibunuh di Lubang Buaya dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua bersama para jenderal lainnya.
Pada saat itu, ia merupakan Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Melalui peristiwa itu pula, ia ditetapkan sebagai pahlwan revolusi sebagai bentung penghatgaan tanda jasa.
Pierre Andreas Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Ia adalah perwira muda berdarah Manado-Prancis yang dikenal cerdas, tampan, dan sangat setia.
Sebagai ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution, ia selalu siap sedia. Pada malam kejadian, Jenderal Nasution adalah target utama.
Ketika pasukan penculik menyerbu rumah dan mulai menembak, Pierre Tendean yang sedang tidur di paviliun belakang segera berlari ke depan. Dalam kegelapan dan situasi kacau, para penculik mengiranya sebagai Jenderal Nasution.
Dengan jiwa ksatria, Pierre Tendean tidak menyangkal. Ia ditangkap dan dibawa, sebuah aksi pengorbanan diri yang heroik untuk menyelamatkan atasannya.
Ia adalah korban termuda di Lubang Buaya yang menjabat sebagai ajudan jenderal besar TNI A.H. Nasution.
Lahir di Sragen, 5 Februari 1923, Kolonel Katamso adalah bukti bahwa gejolak G30S tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebagai Komandan Korem di Yogyakarta, ia mengetahui adanya dewan revolusi yang dibentuk oleh oknum-oknum pro-PKI di wilayahnya.
Jabatan terakhirnya sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta. Ia secara tegas menolak gerakan tersebut. Akibatnya, ia diculik pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 di daerah Kentungan, Yogyakarta.
Katamso dibunuh secara brutal dan jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Awal karirnya menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat pada 1945. Katamso telribat pada Agresi Militer Belanda, ia turut mengusir Belanda.
Ia juga memimpin pasukan dalam melawan pemberontakan Batakyon 426 di Jawa Tengah. Selain itu ia juga terlibat pada oemberontakan PRRI Permesta. Hingga pada 1963, iq diangkat jadi Komandan Korem 072 Kodan VII Diponegoro di Yogyakarta.
Letkol Sugiyono lahir di Gunung Kidul pada 12 Agustus 1926. Ia adalah wakil setia Kolonel Katamso, sekaligus sebagai kepala staf korem 072/Pamungkas.
Ia ditangkap di Markas Korem oleh kelompok pemberontak pada waktu yang hampir bersamaan dengan penculikan Kolonel Katamso. Ia dibawa ke lokasi yang sama di Kentungan dan gugur bersama komandannya.
Pengorbanan mereka menunjukkan betapa meluasnya upaya kudeta tersebut hingga ke daerah. Sugiyono dikubur di Taman Makam Pahlawan di Semaki, Yogyakarta.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, ia diberi gelar pahlawan revolusi. Dalam Website Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenbud) Sugiyono menunjukan kontribusi selama ia menjabat dan membela tanah air.
Ia terlinat dalam agresi militer II di Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Tidak hanya itu, ia juga turut aktif memberikan latihan militer pada anggota resimen mahasiswa.
Karel Satsuit Tubun, seorang Bhayangkara dari Maluku Tenggara yang lahir pada 14 Oktober 1928, adalah satu-satunya korban dari unsur Kepolisian. Ia sedang bertugas jaga ketika gerombolan penculik G30S mengepung kediaman Jenderal Nasution, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Dr. Leimena.
Mendengar suara gaduh dan tembakan, K.S. Tubun dengan sigap mengambil senjatanya dan mencoba melawan. Namun, ia kalah jumlah dan persenjataan.
Ia gugur tertembak saat berusaha mempertahankan posnya, menunjukkan loyalitas seorang penjaga hingga titik darah penghabisan. Pada saat itu, ia merupakan pengawal Kediaman Wakil Perdana Menteri II, Dr. J. Leimena.
Menurut website kementerian kebudayaan Republik Indoneisa, ia dikenang sebagai korban G30S yang bukan sebagai target penculikan, seperti Pierre Tandean, juga bukan target peristiwa G30S. Namanya memang dijadikan nama bandara, nama kepal perang, dan banyak jalan di kota-kota Indonesia.
Itulah profil 10 Pahlawan Revolusi di balik peristiwa G30S ini telah memberikan pengorbanan tertinggi bagi bangsa. Semoga menambah wawasan, ya.
Artikel ini dibuat oleh Annisaa Syafriani, mahasiswa magang Prima PTKI Kementerian Agama.
10 Profil Pahlawan Revolusi
1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani
2. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) R. Soeprapto
3. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) M.T. Haryono
4. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman
5. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) D.I. Panjaitan
6. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
7. Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean
8. Kolonel Inf (Anumerta) Katamso Darmokusumo
9. Letnan Kolonel Inf (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto
10. Ajun Inspektur Polisi Dua (Anumerta) K.S. Tubun
Ahmad Yani memiliki pangkat atau jabatan terakhir sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922, Ahmad Yani adalah seorang prajurit tulen yang kariernya meroket berkat kecerdasan strategis dan keberaniannya di medan perang.
Ia adalah komandan yang berhasil memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat, sebuah operasi militer yang sangat sulit. Sebagai panglima ia dikenal tegas, disiplin, nasionalis, dan disegani.
Berdasarkan buku Memoar Jenderal Yoga yang ditulis oleh Yoga Soegomo, Jenderal Yani dikenal sangat menentang gagasan dari PKI untuk membentuk Angkatan Kelima, yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai, karena dianggap akan merusak hierarki dan profesionalisme militer.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumahnya dikepung oleh pasukan Tjakrabirawa. Ketika diminta menghadap presiden, Jenderal Yani marah karena cara mereka yang kasar dan tidak sesuai prosedur militer.
Ia menampar salah satu prajurit dan berbalik untuk berganti pakaian. Saat itulah, ia ditembak secara brutal dari belakang hingga gugur seketika di ruang makan rumahnya.
Menjabat sebagai deputi II Menteri/Pangad (Bidang Administrasi), Jendral Soeprapto juga turut serta dalam peristiwa G30S. Lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920, Soeprapto adalah sosok perwira yang dikenal sangat tenang, sederhana, dan taat beribadah.
Pengalaman tempurnya sangat kaya, salah satunya adalah saat ia ikut berjuang dalam Pertempuran Ambarawa dan sempat menjadi tawanan tentara Inggris. Sifatnya yang kalem namun tegas membuatnya dihormati.
Pada malam penculikan, ia sedang menggarap naskah pidato. Gerombolan penculik yang datang ke rumahnya menipunya dengan mengatakan ia dipanggil oleh Presiden Soekarno dalam keadaan darurat.
Tanpa menaruh curiga berlebih, ia mengikuti mereka, hanya untuk dibawa paksa ke Lubang Buaya dan dihabisi secara keji.
1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani
2. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) R. Soeprapto
Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia adalah seorang perwira intelektual. Pada saat itu, ia memiliki jabatan sebagai deputi III Menteri/Pangad (Bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Kemampuan yang luar biasa dalam menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman membuatnya sering menjadi ujung tombak diplomasi militer Indonesia dalam berbagai perundingan internasional.
Ketika para penculik mendobrak pintu rumahnya, M.T. Haryono sempat melawan dengan gagah berani. Ia berhasil merebut senjata salah satu penculik, namun karena kalah jumlah, ia didorong hingga jatuh dan langsung ditembak mati oleh anggota Tjakrabirawa lainnya. Jasadnya diseret dari dalam rumahnya dan dilemparkan ke dalam truk.
Siswondo Parman merupakan asisten I Menteri/Pangad (Bidang Intelijen). Lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918, S. Parman adalah otak intelijen Angkatan Darat.
Posisinya yang strategis membuatnya mengetahui banyak seluk-beluk kegiatan PKI, termasuk upaya penyusupan mereka ke dalam tubuh ABRI (TNI saat itu).
Ironis, kakak kandungnya sendiri, Sakirman, adalah seorang tokoh penting di Politbiro CC PKI. Namun, hal ini tidak menggoyahkan loyalitas S.
Parman kepada negara dan TNI. Ia diculik dari rumahnya dengan tipu muslihat bahwa ada rapat mendadak di istana. Ia menolak berganti pakaian dan tetap mengenakan piyama, seolah memiliki firasat buruk.
3. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) M.T. Haryono
4. Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman
Seorang asisten IV Menteri/Pangad (Bidang Logistik) dengan nama lengkap Donald Isaac Panjaitan, lahir di Balige, Tapanuli, pada 19 Juni 1925. Ia adalah seorang perwira yang sangat peduli pada pembinaan mental dan rohani prajurit.
Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang.
Ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.
Salah satu jasa yang terbesar adalah ketika ia berhasil membongkar upaya penyelundupan puluhan ribu pucuk senjata ringan dari Tiongkok yang diduga kuat akan digunakan oleh PKI.
Dilansir dari buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, pada malam penculikan, Brigjen Panjaitan (pangkatnya saat itu) sudah bersiap dengan seragam militernya.
Sebelum keluar menghadapi gerombolan bersenjata, ia sempat berlutut dan berdoa di lantai atas rumahnya, seolah menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Ia ditembak mati tepat di halaman rumahnya sendiri.
5. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) D.I. Panjaitan
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Mayor Sutoyo lahir di Kebumen, 28 Agustus 1922, Sutoyo Siswomiharjo adalah penegak hukum di lingkungan militer. Ia dikenal sebagai sosok yang lurus, jujur, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan.
Karakter yang tegas membuatnya menjadi salah satu target. Ia diculik dengan paksa dari rumahnya, juga dengan modus dipanggil oleh Presiden.
Ia dibunuh di Lubang Buaya dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur tua bersama para jenderal lainnya.
Pada saat itu, ia merupakan Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Melalui peristiwa itu pula, ia ditetapkan sebagai pahlwan revolusi sebagai bentung penghatgaan tanda jasa.
Pierre Andreas Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Ia adalah perwira muda berdarah Manado-Prancis yang dikenal cerdas, tampan, dan sangat setia.
Sebagai ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution, ia selalu siap sedia. Pada malam kejadian, Jenderal Nasution adalah target utama.
Ketika pasukan penculik menyerbu rumah dan mulai menembak, Pierre Tendean yang sedang tidur di paviliun belakang segera berlari ke depan. Dalam kegelapan dan situasi kacau, para penculik mengiranya sebagai Jenderal Nasution.
Dengan jiwa ksatria, Pierre Tendean tidak menyangkal. Ia ditangkap dan dibawa, sebuah aksi pengorbanan diri yang heroik untuk menyelamatkan atasannya.
Ia adalah korban termuda di Lubang Buaya yang menjabat sebagai ajudan jenderal besar TNI A.H. Nasution.
6. Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
7. Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean
Lahir di Sragen, 5 Februari 1923, Kolonel Katamso adalah bukti bahwa gejolak G30S tidak hanya terjadi di Jakarta. Sebagai Komandan Korem di Yogyakarta, ia mengetahui adanya dewan revolusi yang dibentuk oleh oknum-oknum pro-PKI di wilayahnya.
Jabatan terakhirnya sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta. Ia secara tegas menolak gerakan tersebut. Akibatnya, ia diculik pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 di daerah Kentungan, Yogyakarta.
Katamso dibunuh secara brutal dan jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Awal karirnya menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat pada 1945. Katamso telribat pada Agresi Militer Belanda, ia turut mengusir Belanda.
Ia juga memimpin pasukan dalam melawan pemberontakan Batakyon 426 di Jawa Tengah. Selain itu ia juga terlibat pada oemberontakan PRRI Permesta. Hingga pada 1963, iq diangkat jadi Komandan Korem 072 Kodan VII Diponegoro di Yogyakarta.
Letkol Sugiyono lahir di Gunung Kidul pada 12 Agustus 1926. Ia adalah wakil setia Kolonel Katamso, sekaligus sebagai kepala staf korem 072/Pamungkas.
Ia ditangkap di Markas Korem oleh kelompok pemberontak pada waktu yang hampir bersamaan dengan penculikan Kolonel Katamso. Ia dibawa ke lokasi yang sama di Kentungan dan gugur bersama komandannya.
Pengorbanan mereka menunjukkan betapa meluasnya upaya kudeta tersebut hingga ke daerah. Sugiyono dikubur di Taman Makam Pahlawan di Semaki, Yogyakarta.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, ia diberi gelar pahlawan revolusi. Dalam Website Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenbud) Sugiyono menunjukan kontribusi selama ia menjabat dan membela tanah air.
Ia terlinat dalam agresi militer II di Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Tidak hanya itu, ia juga turut aktif memberikan latihan militer pada anggota resimen mahasiswa.
8. Kolonel Inf (Anumerta) Katamso Darmokusumo
9. Letnan Kolonel Inf (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto
Karel Satsuit Tubun, seorang Bhayangkara dari Maluku Tenggara yang lahir pada 14 Oktober 1928, adalah satu-satunya korban dari unsur Kepolisian. Ia sedang bertugas jaga ketika gerombolan penculik G30S mengepung kediaman Jenderal Nasution, yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Dr. Leimena.
Mendengar suara gaduh dan tembakan, K.S. Tubun dengan sigap mengambil senjatanya dan mencoba melawan. Namun, ia kalah jumlah dan persenjataan.
Ia gugur tertembak saat berusaha mempertahankan posnya, menunjukkan loyalitas seorang penjaga hingga titik darah penghabisan. Pada saat itu, ia merupakan pengawal Kediaman Wakil Perdana Menteri II, Dr. J. Leimena.
Menurut website kementerian kebudayaan Republik Indoneisa, ia dikenang sebagai korban G30S yang bukan sebagai target penculikan, seperti Pierre Tandean, juga bukan target peristiwa G30S. Namanya memang dijadikan nama bandara, nama kepal perang, dan banyak jalan di kota-kota Indonesia.
Itulah profil 10 Pahlawan Revolusi di balik peristiwa G30S ini telah memberikan pengorbanan tertinggi bagi bangsa. Semoga menambah wawasan, ya.
Artikel ini dibuat oleh Annisaa Syafriani, mahasiswa magang Prima PTKI Kementerian Agama.