Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk Kedaulatan Palembang

Posted on

Sultan Mahmud Badaruddin II terlahir dengan nama Raden Muhammad Hasan pada 23 September 1767 di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Dia merupakan putera dari Raja Kesultanan Palembang, Sultan Muhammad Bahaudin atau juga dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin 1 dan ibunya, Ratu Agung.

Budayawan Palembang sekaligus pegawai Museum Sultan Mahmud Badaruddin, Mang Amin menceritakan sejak kecil Raden Muhammad Hasan gigih belajar dan berhasil menguasai beberapa bahasa asing. Dia juga dipersiapkan untuk menggantikan raja kelak di kesultanan Palembang Darussalam.

“Setelah sang ayah meninggal dunia Raden Muhammad Hasan dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 14 April 1803 dengan gelar Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin. Dan seiring berjalan waktu beliau dikenal dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II,” katanya, Jumat (10/10/2025).

Selain dikenal sebagai Sultan, kata Mang Amin, dia juga mempunyai sosok ulama besar, imam besar di masjid Agung Palembang dan penulis serta olahragawan terutama pencak silat dan perahu bidar.

Awal abad ke-19 menjadi masa penuh gejolak bagi Sumatera Selatan, ketika arus kekuasaan kolonial Eropa datang silih berganti menancapkan pengaruh di bumi Palembang. Di tengah situasi itu, Sultan Mahmud Badaruddin II pantang tunduk pada penjajahan.

Kesultanan Palembang kala itu berada di puncak kemakmuran, dengan perdagangan lada, timah, dan hasil bumi yang menjadikan kota di tepi Sungai Musi ini incaran bangsa asing. Inggris dan Belanda datang membawa senyum diplomasi, namun di baliknya tersimpan ambisi untuk menguasai sumber daya dan kekuasaan di tanah Melayu.

“Sultan Mahmud Badaruddin II membaca tanda-tanda itu. Ia melihat kelicikan dalam setiap perjanjian dan keserakahan dalam setiap permintaan. Baginya, kedaulatan bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Dengan penuh keyakinan, ia memilih jalan perjuangan melawan penjajahan dengan seluruh kekuatan yang dimiliki,” ungkapnya.

Lalu d antara tahun 1811 hingga 1821, Palembang menjadi medan pertempuran besar melawan Inggris dan Belanda. Benteng-benteng diperkuat, pasukan rakyat dilatih, dan Sungai Musi yang megah menjadi saksi perlawanan sengit di bawah komando sang Sultan.

“Serangan demi serangan dilancarkan oleh pasukan kolonial, namun berkali-kali pula mereka harus menelan kekalahan. Keberanian dan strategi Sultan Mahmud Badaruddin II menjadikan Palembang sebagai simbol perlawanan yang menyala di Sumatra Selatan,” kata Mang Amin.

Namun, kekuatan yang tidak seimbang dan politik adu domba yang licik akhirnya melemahkan pertahanan Palembang. Pada tahun 1821, Belanda melancarkan serangan besar-besaran yang dikenal sebagai Perang Menteng II. Setelah pertempuran sengit, Sultan Mahmud Badaruddin II akhirnya ditangkap.

Sang Sultan tidak diadili, tidak pula diberi kesempatan membela diri. Pemerintah kolonial tahu, selama ia hidup di tanah Palembang, semangat perlawanan rakyat tidak akan padam. Maka keputusan pun dibuat dengan mengasingkannya sejauh mungkin dari negerinya sendiri.

“Sultan dan keluarga dan pengikut setia, Sultan Mahmud Badaruddin II dibawa ke Pulau Ternate, ribuan kilometer dari Palembang. Di sanalah ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai tawanan politik, jauh dari istana dan rakyat yang ia cintai,” jelasnya.

Setiap hari di perantauan, mungkin ia memandang laut luas, mengenang Sungai Musi, dan meneguhkan hati bahwa perjuangan yang ia pilih adalah jalan terhormat bagi seorang pemimpin.

“Pada 26 September 1852, setelah tiga dekade hidup dalam pengasingan, Sultan Mahmud Badaruddin II wafat di Ternate. Ia dimakamkan di tanah asing, jauh dari kampung halaman yang ia bela hingga akhir hayatnya,” tutupnya.

Meski jasadnya tak kembali ke Palembang, semangat perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II terus hidup dalam ingatan rakyat. Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, monumen, dan berbagai tempat yang menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan.

Sultan Mahmud Badaruddin II bukan sekadar penguasa kerajaan, melainkan lambang keberanian dan martabat bangsa yang tak mau tunduk pada penjajahan. Dari tepi Sungai Musi hingga pengasingan di Ternate, kisah hidupnya menjadi pelajaran tentang arti sejati dari kedaulatan, pengorbanan, dan cinta tanah air.

Mengutip laman resmi Bank Indonesia, Sultan Mahmud Badaruddin II dijadikan sebagai gambar tampak depan pada uang nominal Rp 10.000 keluaran tahun 2005 dengan warna ungu dan ukuran 145 x 130 mm.

Uang tersebut berbentuk 2 bilyet dengan tampak depan adalah gambar Sultan Mahmud Badaruddin II dan tampak belakang merupakan Rumah Limas, rumah adat Palembang.

Nominal uang Rp 10.000 bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II itu merupakan uang kertas yang beredar sebelum edisi keluaran 2022 dengan tampak depan tokoh pahlawan Frans Kaisiepo.