Salah satu rumah adat yang menjadi ciri khas Bangka Belitung adalah Rumah Rakit. Rumah ini dibangun di atas sungai yang terbuat dari rangkaian balok kayu atau bambu.
Rumah rakit biasanya berukuran kecil berbentuk bujur sangkar dengan atap kajang dari anyaman daun ulit. Dilansir laman Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 40 persen wilayah di sana berupa lahan yang tergenang air atau berada di tepi laut.
Kondisi geografis tersebut mendorong masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan, sehingga lahirlah arsitektur tradisional khas Bangka Belitung yang dikenal dengan sebutan rumah rakit.
Rumah rakit dikenal sebagai salah satu jenis bangunan tertua di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), yang diperkirakan sudah ada sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Penjelasan ini diketahui dari tulisan Noperman, dosen Luar Biasa Akademi Bina Bahari, yang berjudul Rumah Rakit: Sejarah Dan Eksistensinya.
Disebut rumah rakit karena bentuknya menyerupai rakit, dengan ciri khas dibangun di atas air. Konsep rumah ini juga dipakai oleh masyarakat di tepi Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering yang membentang di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel)
Asal-usul rumah rakit diyakini bermula dari masyarakat pribumi di wilayah Uluan, Sumsel. Mereka membawa hasil bumi seperti kelapa dan pisang ke Palembang menggunakan rakit besar. Karena tidak membawa pulang rakitnya, banyak yang akhirnya menetap di atas rakit tersebut dan mengubahnya menjadi hunian.
Sejarah rumah rakit ini memiliki kaitan erat dengan masa Kesultanan. Saat itu, semua pendatang diwajibkan menetap di rumah rakit, kecuali bangsa Arab dan kaum muslim yang memiliki kedekatan khusus dengan pihak kesultanan.
Menurut Buku Yuk Mengenal Rumah Tradisional Sumatra oleh Wilujeng Dwi Windhiari tahun 2017, diketahui bahwa rumah rakit berawal dari inisiatif warga Tionghoa. Pada masa Kesultanan Palembang, mereka sebagai warga asing saat itu tidak diberi izin untuk tinggal di daratan, sehingga memilih membangun hunian di atas Sungai Musi.
Dari sinilah rumah rakit berkembang menjadi bagian dari tradisi dan kehidupan masyarakat di Sumbagsel, khususnya Bangka Belitung. Pada tahun 1940-an, Bangka Belitung masih masuk kawasan Sumbagsel.
Rumah rakit memiliki pengaruh kuat dari budaya Tionghoa. Pada rumah rakit milik masyarakat Tionghoa, umumnya terdapat tiga bagian utama. Bagian depan difungsikan sebagai tempat berdagang, bagian tengah berupa ruang terbuka, dan bagian belakang digunakan sebagai area tempat tinggal.
Saat itu fungsi rumah rakit tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga dimanfaatkan sebagai penginapan, gudang, hingga pusat kegiatan ekonomi. Bahkan, pada masa kolonial Belanda pun sempat menggunakan rumah rakit sebagai kantor dagang pertamanya di Palembang.
Pada awal 1900-an, pernah pula berdiri rumah sakit di atas rakit, menandai beragam fungsi rumah tradisional ini. Nama Rumah Rakit muncul karena bentuk dan strukturnya menyerupai rakit.
Lokasi pembangunan rumah rakit erat kaitannya dengan sungai. Dari sinilah, hunian sederhana ini lahir sebagai bentuk adaptasi masyarakat yang memahami alam dan kondisi sosial.
Pasca kemerdekaan, jumlah rumah rakit mulai menurun karena beberapa faktor, seperti sulitnya mendapatkan bambu sebagai pengapung, tingginya biaya pembangunan, serta keterbatasan lahan untuk menambatkan rakit.
Dalam catatan Profil Perumahan dan Kawasan Permukiman tahun 2017 Provinsi Kepulauan Bangka Bangka Belitung disebutkan bahwa rumah rakit dibangun di atas sungai memiliki nilai ekonomis, sebagai hunian sekaligus sebagai sumber mata pencaharian.
Rumah ini tahan banjir karena dibangun di atas air wujud kearifan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga membuat banyak masyarakat memilih menetap di tepian sungai dengan menjadikan rumah rakit sebagai tempat tinggal mereka.
Jika pemilik ingin memindahkan rumah rakitnya, bangunan tersebut dapat difungsikan layaknya rakit yang mengapung di sungai, dengan lantai tetap kering dan tidak terkena air.
Secara keseluruhan, rumah rakit terdiri dari dua ruangan utama. Satu ruangan difungsikan sebagai kamar tidur, sementara ruangan lainnya dipakai untuk aktivitas sehari-hari. Adapun dapur biasanya terletak di luar bangunan utama.
Pintu terbagi dua, menghadap ke sungai dan daratan, dengan jendela searah pintu serta jembatan penghubung ke tepi. Disesuaikan dengan kondisi perairan sehingga mampu mengapung di atas sungai dan menjadi tempat tinggal yang fungsional.
Supaya rumah rakit tidak hanyut terbawa arus, setiap sudut rumah dilengkapi dengan tiang kayu penyangga, sehingga posisinya tetap stabil meski berada di atas aliran air.
Dalam pembangun rumah rakit terdapat aturan adat yang tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan harus melalui musyawarah antara suami-istri serta melibatkan kerabat atau tetangga sekitar sesuai tata cara pergaulan masyarakat setempat.
Hal itu dikarenakan terdapat pantangan dan larangan adat yang harus dipatuhi. Jika proses pembangunan dilakukan tanpa musyawarah, maka tindakan tersebut dianggap melanggar adat.
Kini, rumah rakit sudah mulai jarang dijumpai, di tepian Sungai Ogan, kawasan Seberang Ulu Palembang, masih berdiri deretan rumah rakit. Bangunan terapung itu tidak hanya difungsikan sebagai hunian bagi puluhan keluarga, tetapi juga dimanfaatkan sebagai lokasi strategis untuk menjalankan aktivitas perdagangan.
Dengan adanya pembangunan turap di kawasan Benteng Kuto Besak, Pasar 16, Kelenteng Dewi Kwan Im, dan Kampung Kapitan, ditambah program revitalisasi pemukiman kumuh di Seberang Ulu, keberadaan rumah-rumah rakit yang dahulu ramai ditemui di sekitar Jembatan Ampera kini sulit ditemukan.
Rumah rakit merupakan bentuk hunian yang dirancang sebagai adaptasi terhadap lingkungan perairan. Proses pembangunan yang melibatkan musyawarah, sehingga tercermin nilai kebersamaan dan saling menghormati dalam tradisi masyarakat.
Rumah rakit dibangun di tepi sungai yang dianggap pusat kehidupan sumber air dan mata pencaharian masyarakat. Karena berdiri di atas air, rumah rakit mampu menghadapi banjir dan perubahan permukaan sungai, yang merupakan adaptasi masyarakat terhadap alam.
Itulah ulasan tentang Rumah Rakit Bangka Belitung mulai dari sejarah hingga filosofinya. Semoga dapat menambah wawasan ya.
Artikel ini ditulis oleh Aldekum Fatih Rajih, peserta magang Prima PTKI Kementerian Agama RI.
Sejarah Awal Rumah Rakit
Fungsi Rumah Rakit
Keistimewaan Rumah Rakit Bangka Belitung
Konsep Rumah Rakit
Aturan Membangun Rumah Rakit
Makna Filosofis Rumah Rakit
Rumah rakit memiliki pengaruh kuat dari budaya Tionghoa. Pada rumah rakit milik masyarakat Tionghoa, umumnya terdapat tiga bagian utama. Bagian depan difungsikan sebagai tempat berdagang, bagian tengah berupa ruang terbuka, dan bagian belakang digunakan sebagai area tempat tinggal.
Saat itu fungsi rumah rakit tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga dimanfaatkan sebagai penginapan, gudang, hingga pusat kegiatan ekonomi. Bahkan, pada masa kolonial Belanda pun sempat menggunakan rumah rakit sebagai kantor dagang pertamanya di Palembang.
Pada awal 1900-an, pernah pula berdiri rumah sakit di atas rakit, menandai beragam fungsi rumah tradisional ini. Nama Rumah Rakit muncul karena bentuk dan strukturnya menyerupai rakit.
Lokasi pembangunan rumah rakit erat kaitannya dengan sungai. Dari sinilah, hunian sederhana ini lahir sebagai bentuk adaptasi masyarakat yang memahami alam dan kondisi sosial.
Pasca kemerdekaan, jumlah rumah rakit mulai menurun karena beberapa faktor, seperti sulitnya mendapatkan bambu sebagai pengapung, tingginya biaya pembangunan, serta keterbatasan lahan untuk menambatkan rakit.
Fungsi Rumah Rakit
Dalam catatan Profil Perumahan dan Kawasan Permukiman tahun 2017 Provinsi Kepulauan Bangka Bangka Belitung disebutkan bahwa rumah rakit dibangun di atas sungai memiliki nilai ekonomis, sebagai hunian sekaligus sebagai sumber mata pencaharian.
Rumah ini tahan banjir karena dibangun di atas air wujud kearifan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga membuat banyak masyarakat memilih menetap di tepian sungai dengan menjadikan rumah rakit sebagai tempat tinggal mereka.
Jika pemilik ingin memindahkan rumah rakitnya, bangunan tersebut dapat difungsikan layaknya rakit yang mengapung di sungai, dengan lantai tetap kering dan tidak terkena air.
Secara keseluruhan, rumah rakit terdiri dari dua ruangan utama. Satu ruangan difungsikan sebagai kamar tidur, sementara ruangan lainnya dipakai untuk aktivitas sehari-hari. Adapun dapur biasanya terletak di luar bangunan utama.
Pintu terbagi dua, menghadap ke sungai dan daratan, dengan jendela searah pintu serta jembatan penghubung ke tepi. Disesuaikan dengan kondisi perairan sehingga mampu mengapung di atas sungai dan menjadi tempat tinggal yang fungsional.
Supaya rumah rakit tidak hanyut terbawa arus, setiap sudut rumah dilengkapi dengan tiang kayu penyangga, sehingga posisinya tetap stabil meski berada di atas aliran air.
Keistimewaan Rumah Rakit Bangka Belitung
Konsep Rumah Rakit
Dalam pembangun rumah rakit terdapat aturan adat yang tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan harus melalui musyawarah antara suami-istri serta melibatkan kerabat atau tetangga sekitar sesuai tata cara pergaulan masyarakat setempat.
Hal itu dikarenakan terdapat pantangan dan larangan adat yang harus dipatuhi. Jika proses pembangunan dilakukan tanpa musyawarah, maka tindakan tersebut dianggap melanggar adat.
Kini, rumah rakit sudah mulai jarang dijumpai, di tepian Sungai Ogan, kawasan Seberang Ulu Palembang, masih berdiri deretan rumah rakit. Bangunan terapung itu tidak hanya difungsikan sebagai hunian bagi puluhan keluarga, tetapi juga dimanfaatkan sebagai lokasi strategis untuk menjalankan aktivitas perdagangan.
Dengan adanya pembangunan turap di kawasan Benteng Kuto Besak, Pasar 16, Kelenteng Dewi Kwan Im, dan Kampung Kapitan, ditambah program revitalisasi pemukiman kumuh di Seberang Ulu, keberadaan rumah-rumah rakit yang dahulu ramai ditemui di sekitar Jembatan Ampera kini sulit ditemukan.
Rumah rakit merupakan bentuk hunian yang dirancang sebagai adaptasi terhadap lingkungan perairan. Proses pembangunan yang melibatkan musyawarah, sehingga tercermin nilai kebersamaan dan saling menghormati dalam tradisi masyarakat.
Rumah rakit dibangun di tepi sungai yang dianggap pusat kehidupan sumber air dan mata pencaharian masyarakat. Karena berdiri di atas air, rumah rakit mampu menghadapi banjir dan perubahan permukaan sungai, yang merupakan adaptasi masyarakat terhadap alam.
Itulah ulasan tentang Rumah Rakit Bangka Belitung mulai dari sejarah hingga filosofinya. Semoga dapat menambah wawasan ya.
Artikel ini ditulis oleh Aldekum Fatih Rajih, peserta magang Prima PTKI Kementerian Agama RI.