Permiri merupakan nama salah satu kelurahan yang ada di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Namun nama tersebut memiliki arti dan sejarah yang menarik, khususnya zaman kemerdekaan Indonesia.
Permiri merupakan singkatan dari Perusahaan Minyak Republik Indonesia. Perusahaan minyak bumi pertama di Indonesia ini berkembang setelah masa kemerdekaan tahun 1945.
Kelurahan Pasar Permiri sendiri berada di Kecamatan Lubuklinggau Barat II, Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Saat ini, kelurahan Pasar Permiri mencakup tempat-tempat penting seperti stasiun kereta api, Pasar Inpres, Alun-alun Merdeka Museum Subkoss, serta Masjid Agung As-Salam.
Selain perusahaan minyak bumi pertama di Indonesia, Permiri memiliki cerita tersendiri berkaitan dengan masa mempertahankan kemerdekaan dari pasukan Belanda yang kembali ingin menguasai Sumatera Selatan, termasuk Lubuklinggau.
Pemandu Museum Subkoss Lubuklinggau Berlian Susetyo menceritakan pada masa lampau, minyak menjadi salah satu senjata strategis dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di bidang ekonomi dan persenjataan para pejuang Republik Indonesia di Sumatera Selatan pada tahun 1945-1949.
“Hal ini terlihat saat pasukan Jepang datang ke Indonesia, mereka pertama kali menyerang tiga kota yakni Tarakan (11/1/1942), Balikpapan (22/1/1942), dan Palembang (12/2/1942). Serangan itu dilakukan untuk menguasai ketiga kota yang menjadi pusat industri pengolahan minyak bumi, ini menandakan bahwa betapa penting dan strategisnya hasil tambang ini,” katanya saat dikonfirmasi infoSumbagsel, Senin (8/12/2025).
Berlian mengungkapkan minyak bumi sangat penting pada masa itu baik digunakan sebagai penggerak transportasi modern di masa damai maupun sebagai penggerak tank, kapal, dan pesawat tempur di masa perang.
“Karena nilai strategis minyak bumi amat penting, tak lama setelah terbentuknya pemerintahan sementara di Palembang atas instruksi AK Gani, dibentuklah Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI) di bawah pimpinan Mohamad Isa. Pemerintahan sementara ini dinamakan Karesidenan Palembang,” ujarnya.
Berlian menjelaskan perusahaan minyak bumi pertama di Indonesia ini menguasai kilang-kilang dan segenap sarana dan prasarana produksi dua perusahaan minyak besar di zaman kolonial Belanda yaitu NIAM (Nederlandsch Indie Aardolie Maatschappij) dan BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij).
“Jadi salah satu tugas utama Mohamad Isa sebagai Ketua Urusan Minyak dan Tambang serta Pemimpin PERMIRI adalah mengupayakan agar unit-unit pengilangan di Plaju (dulunya BPM) dan di Sungai Gerong (dulunya NIAM) dapat beroperasi kembali. Ini merupakan tugas berat karena pada tahun 1944, kedua kilang minyak ini sempat dibombardir sekutu dalam upaya serangan balik untuk memukul Jepang,” bebernya
“Kedua kilang ini mengalami ledakan hebat dan terbakar setelah dihantam bom dari udara oleh pasukan sekutu dalam upaya merebut Palembang dari tangan Jepang,” sambungnya.
Agar minyak tetap mengalir meski instalasi di Plaju dan Sungai Gerong rusak, didirikanlah kilang minyak mini di kawasan Kenten. Di Kenten inilah PERMIRI sebagai perusahaan minyak bumi pertama milik Indonesia itu resmi berdiri tahun 1945.
“Setelah itu dibentuklah PERMIRI Prabumulih yang dipimpin JM Pattiasina serta PERMIRI Pendopo yang dipimpin Suntor dan semua itu langsung di bawah pimpinan Mohamad Isa. Dibentuknya PERMIRI dimaksudkan untuk mengendalikan para laskar minyak (para mantan buruh minyak) agar tidak terprovokasi terhadap Jepang,” katanya.
Kemudian kilang-kilang PERMIRI di Sumatera Selatan sukses memproses minyak mentah menjadi bensin, solar, dan minyak tanah. Hasil tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai materi barter atau alat tukar dengan segala materi yang dibutuhkan untuk mempertahankan NKRI.
“Minyak tersebut biasanya dibarter dengan bahan makanan terutama beras, jagung, dan gaplek. Barter minyak yang biasanya dilakukan di Singapura adalah dengan kain blacu, seragam tentara, kain kelambu, dan obat-obatan,” sebutnya.
Setelah itu, kata Berlian, kilang minyak ketiga pun akhirnya dibangun di Kenali Asam, Jambi yang dipimpin R Sudarsono. Kilang tersebut mampu menghasilkan avtur yakni bahan bakar pesawat terbang.
“Minyak hasil penyulingan di Kenali Asam tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen di Jambi, tetapi juga dikirim ke daerah lain seperti Lubuklinggau, Bengkulu, Tapanuli, dan lain-lain,” ujarnya.
Pada masa revolusi atau setelah tambang minyak di daerah ini diambilalih pihak RI sejak September 1945, kebutuhan minyak penduduk di Sumatera Selatan boleh dikatakan melimpah ruah hingga minyak di Palembang menjadi pemasok utama untuk daerah Sumatera Barat.
Informasi tersebut kemudian sampai ke telinga Belanda hingga akhirnya Kota Palembang dikuasai sejak Perang 5 Hari 5 Malam pada Januari 1947 yang mengakibatkan segala unsur militer mundur dari Kota Palembang menuju Lahat. Akibatnya, PERMIRI pun turut memindahkan kantornya ke Prabumulih.
“Bersamaan dengan itu, Belanda yang berhasil menguasai Kota Palembang berusaha memperbaiki pengilangan minyak di Plaju yang dibumihanguskan oleh pejuang,” katanya.
Seiring dengan serangan Agresi Militer Belanda I (21/7/1947), PERMIRI kehilangan kontrol atas minyak- minyak utamanya. Bahkan produksi kilang kecil di Prabumulih dan Pendopo yang menjadi pusat penyediaan bahan bakar pejuang turut dibumihanguskan pejuang agar tidak dimanfaatkan Belanda.
“Walaupun banyak instalasi yang telah dibumihanguskan oleh para pejuang Indonesia, namun Belanda tetap mengusahakan perbaikan kembali untuk memanfaatkan minyak bumi tersebut,” katanya.
Sejak peristiwa Agresi Militer Belanda I itu, kata dia, pasukan RI di Sumatera Selatan memindahkan pusat pemerintahan sipil dan militernya di Lubuklinggau. Kemudian di akhir Desember 1947, giliran Mohamad Isa yang telah menjadi Gubernur Muda Sub Provinsi Sumatera Selatan menyusul ke Lubuklinggau setelah diizinkan Belanda meninggalkan Palembang untuk bergabung dengan Kolonel Maludin Simbolon dan Residen Abdul Rozak.
“Setelah Belanda kembali melakukan agresi militernya yang kedua tanggal 19 Desember 1948, Lubuklinggau menjadi satu dari tiga kota utama yang menjadi sasaran serangan serentak Belanda bersama-sama dengan Yogyakarta dan Bukit Tinggi. Kepentingan Belanda menduduki Lubuklinggau dilandasi pertimbangan ekonomi karena Belanda berisinyalir Lubuklinggau merupakan pumpunan minyak Palembang dan hasil-hasil perkebunan Sumatera Selatan,” ungkapnya.
Namun akibat serangan Belanda dalam Agresi Militer II, PERMIRI terpaksa untuk kedua kalinya meninggalkan daerah operasi terakhirnya dan membubarkan diri tahun 1948. Kemudian kebijakan pemerintah RI untuk konsesi minyak Sumatera Selatan dikembalikan kepada perusahaan pemegang Shell dan Stanvac pada masa perjuangan kemerdekaan, maka sejak itu PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi hanya tinggal namanya saja
“Jadi dalam perkembangannya, Permiri yang merupakan salah satu dari beberapa perusahaan minyak yang pernah ada di Sumatera Selatan memegang peranan penting dalam membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Minyak-minyak dari PERMIRI disalurkan ke berbagai daerah di Sumatera Selatan termasuk Lubuklinggau,” ujarnya.
“Akan tetapi, minyak yang ditampung di Lubuklinggau ialah hasil dari olahan dari PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi kemudian disalurkan ke daerah Lubuklinggau dan sekitarnya. Akhirnya, dusun tua Lubuklinggau yang menjadi tempat penampungan minyak ini setelah masa kemerdekaan dikenal dengan PERMIRI, sekarang menjadi sebuah nama daerah dan sekarang menjadi nama kelurahan di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan,” tuturnya.
Setelah itu, kata Berlian, kilang minyak ketiga pun akhirnya dibangun di Kenali Asam, Jambi yang dipimpin R Sudarsono. Kilang tersebut mampu menghasilkan avtur yakni bahan bakar pesawat terbang.
“Minyak hasil penyulingan di Kenali Asam tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen di Jambi, tetapi juga dikirim ke daerah lain seperti Lubuklinggau, Bengkulu, Tapanuli, dan lain-lain,” ujarnya.
Pada masa revolusi atau setelah tambang minyak di daerah ini diambilalih pihak RI sejak September 1945, kebutuhan minyak penduduk di Sumatera Selatan boleh dikatakan melimpah ruah hingga minyak di Palembang menjadi pemasok utama untuk daerah Sumatera Barat.
Informasi tersebut kemudian sampai ke telinga Belanda hingga akhirnya Kota Palembang dikuasai sejak Perang 5 Hari 5 Malam pada Januari 1947 yang mengakibatkan segala unsur militer mundur dari Kota Palembang menuju Lahat. Akibatnya, PERMIRI pun turut memindahkan kantornya ke Prabumulih.
“Bersamaan dengan itu, Belanda yang berhasil menguasai Kota Palembang berusaha memperbaiki pengilangan minyak di Plaju yang dibumihanguskan oleh pejuang,” katanya.
Seiring dengan serangan Agresi Militer Belanda I (21/7/1947), PERMIRI kehilangan kontrol atas minyak- minyak utamanya. Bahkan produksi kilang kecil di Prabumulih dan Pendopo yang menjadi pusat penyediaan bahan bakar pejuang turut dibumihanguskan pejuang agar tidak dimanfaatkan Belanda.
“Walaupun banyak instalasi yang telah dibumihanguskan oleh para pejuang Indonesia, namun Belanda tetap mengusahakan perbaikan kembali untuk memanfaatkan minyak bumi tersebut,” katanya.
Sejak peristiwa Agresi Militer Belanda I itu, kata dia, pasukan RI di Sumatera Selatan memindahkan pusat pemerintahan sipil dan militernya di Lubuklinggau. Kemudian di akhir Desember 1947, giliran Mohamad Isa yang telah menjadi Gubernur Muda Sub Provinsi Sumatera Selatan menyusul ke Lubuklinggau setelah diizinkan Belanda meninggalkan Palembang untuk bergabung dengan Kolonel Maludin Simbolon dan Residen Abdul Rozak.
“Setelah Belanda kembali melakukan agresi militernya yang kedua tanggal 19 Desember 1948, Lubuklinggau menjadi satu dari tiga kota utama yang menjadi sasaran serangan serentak Belanda bersama-sama dengan Yogyakarta dan Bukit Tinggi. Kepentingan Belanda menduduki Lubuklinggau dilandasi pertimbangan ekonomi karena Belanda berisinyalir Lubuklinggau merupakan pumpunan minyak Palembang dan hasil-hasil perkebunan Sumatera Selatan,” ungkapnya.
Namun akibat serangan Belanda dalam Agresi Militer II, PERMIRI terpaksa untuk kedua kalinya meninggalkan daerah operasi terakhirnya dan membubarkan diri tahun 1948. Kemudian kebijakan pemerintah RI untuk konsesi minyak Sumatera Selatan dikembalikan kepada perusahaan pemegang Shell dan Stanvac pada masa perjuangan kemerdekaan, maka sejak itu PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi hanya tinggal namanya saja
“Jadi dalam perkembangannya, Permiri yang merupakan salah satu dari beberapa perusahaan minyak yang pernah ada di Sumatera Selatan memegang peranan penting dalam membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Minyak-minyak dari PERMIRI disalurkan ke berbagai daerah di Sumatera Selatan termasuk Lubuklinggau,” ujarnya.
“Akan tetapi, minyak yang ditampung di Lubuklinggau ialah hasil dari olahan dari PERMIRI Sumatera Selatan dan Jambi kemudian disalurkan ke daerah Lubuklinggau dan sekitarnya. Akhirnya, dusun tua Lubuklinggau yang menjadi tempat penampungan minyak ini setelah masa kemerdekaan dikenal dengan PERMIRI, sekarang menjadi sebuah nama daerah dan sekarang menjadi nama kelurahan di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan,” tuturnya.
