Herman Deru Desak Disbun & APH Percepat Legalitas Lahan Rakyat

Posted on

Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Herman Deru mendesak agar penanganan pencurian tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di daerahnya difokuskan pada upaya pencegahan dan penyelesaian masalah legalitas lahan. Selain penindakan hukum yang tegas, kejahatan yang semula konvensional kini telah bertransformasi menjadi sindikat semi-modern.

Sindikat ini melibatkan orang dalam dan penadah, mengakibatkan volume kerugian yang besar. Untuk itu, Herman Deru menyebut pentingnya peranan pihak kepolisian, kejaksaan, dan unsur pengadilan dalam menyelesaikan masalah ini.

“Kalau tidak dibarengi dengan pencegahan yang dilakukan oleh GAPKI atau pemilik perkebunan, apakah itu perkebunan besar atau rakyat, ini tidak akan maksimal,” tegas Herman Deru dalam rapat koordinasi dalam rangka mengatasi gangguan usaha perkebunan kelapa sawit di Sumsel, Selasa (9/12/2025)

Herman Deru mengaku terkejut dengan paparan Kapolda mengenai keberadaan 31 pabrik Crude Palm Oil (CPO) di Sumsel, yang disebutnya sebagai pabrik brodol atau beroperasi tanpa memiliki kebun sendiri. Meskipun memiliki izin legal, pabrik-pabrik ini tidak memiliki jaminan suplai bahan baku.

“Tiga puluh satu itu saya kaget juga. Ini membutuhkan koordinasi. Jika diasumsikan kapasitas rata-rata satu pabrik adalah 60 ton per hari, maka 31 PKS ini membutuhkan pasokan hingga hampir 2.000 ton TBS per hari. Volume sebesar ini, kuat diindikasikan berasal dari tindakan melawan hukum” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Herman Deru menyatakan akan segera mengambil langkah konkret dengan mem-bypass koordinasi ke Kementerian Perindustrian dan menginstruksikan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk memonitoring dari mana pasokan buah sawit pabrik-pabrik tersebut berasal. Selain itu, pergerakan minyak hasil Rantai Alternatif Minyak (RAM) ilegal yang mencapai kurang lebih 4.000 ton per hari juga menjadi perhatian serius.

Herman Deru menerangkan masalah utama lainnya yakni ketidakjelasan status kepemilikan lahan perkebunan rakyat. Dia menyoroti bahwa banyak kebun rakyat yang hanya bersurat SPH (Surat Pengakuan Hak) yang disahkan oleh kepala desa, dan bahkan diorganisir oleh satu orang yang memiliki banyak SPH.

“Masalahnya, enggak bisa Bapak menggunakan lex specialis (Pasal 107 UU Perkebunan) tadi,” katanya kepada aparat penegak hukum (APH).

Ia menjelaskan bahwa ketidakjelasan legalitas ini menyulitkan proses penegakan hukum dan memberikan celah bagi pelaku kejahatan.

Oleh karena itu, ia meminta Dinas Perkebunan (Disbun) baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk segera menyosialisasikan dan mempermudah proses pendaftaran tanah. Ia menyebut program seperti PRONA dan Proda (Program Daerah) yang pernah ia tambah kuotanya saat menjabat bupati, sebagai solusi agar masyarakat tidak merasa hopeless karena mengurus sertifikat tanah yang dianggap berbelit.

“Legalitas yang diakui negaranya itu saya minta di pertemuan ini agar persoalan-persoalan sekecil apapun dapat kita lontarkan untuk nanti ada solusi-solusinya,” harapnya.

Herman Deru juga menyoroti pola Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar yang dinilai masih belum efektif dalam mereduksi niat kejahatan. Ia melihat CSR yang ada saat ini bersifat sporadis dan tidak terkoordinasi dengan pemerintah setempat.

“Jangan sampai pelaku pelaku tadi mengatakan kurangnya perhatian dari perusahaan setempat, dan untuk urusan perut yang kerap digunakan pelaku, karena terbukti modus pencurian sudah terencana, terlihat dari sepeda motor yang dimodifikasi khusus untuk mengangkut hingga 200 kg TBS,” tegasnya.

Herman Deru meminta Ketua GAPKI untuk menginformasikan kepada anggotanya bahwa Pemprov Sumsel memiliki wadah pelaporan, bahkan aplikasi Si Tanjak, untuk memonitor distribusi, kegunaan, dan volume CSR. Koordinasi CSR yang tepat sasaran diharapkan dapat menutup celah konflik sosial dan mengurangi minat masyarakat untuk terlibat dalam pencurian.

Dia mengajak seluruh pihak, termasuk APH, untuk menyatukan proses agar penanganan di daerah bisa memiliki solusi yang jelas, bahkan untuk kasus skala kecil di bawah lima juta, yang mungkin dapat dipertimbangkan menggunakan restorative justice (RG).

Artikel ini ditulis oleh Ani Safitri peserta Program MagangHub Bersertifikat dari Kemnaker di infocom.