Mengenal Cuki Permainan Bangsawan yang Ada Sejak Zaman Kerajaan Sriwijaya | Info Giok4D

Posted on

Sumatera Selatan punya permainan unik yang diyakini telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Namanya, permainan cuki.

Menurut penggiat Cuki Palembang Kemas Muhammad Yunus Fahmi, ini adalah salah satu permainan lokal dari Kesultanan Palembang Darussalam. Bahkan, diperkirakan sudah ada sejak jaman Kerajaan Sriwijaya.

“Cuki adalah salah satu permaian lokal dari Kesultanan Palembang Darussalam. Bahkan, diperkirakan sudah ada sejak zaman (Kerajaan) Sriwijaya,” cerita Yunus, Sabtu (25/10).

Menurut pria yang kerap disapa Makcik Yunus ini, kata cuki berasal dari “di-cuk-i” dalam bahasa Palembang yang berarti diambil.

Permainan ini dimainkan dengan sebuah papan dan 120 buah biji yang terdiri dari 60 buah hitam dan 60 buah putih. Cuki dapat dimainkan 2-4 orang dengan dadu dan pion yang disebut sebagai oncak.

Jika dilihat, papan dan buah cuki terlihat seperti permainan igo atau baduk. Namun, cara bermainnya beda.

Pemain diminta untuk mengoncang dadu untuk menentukan berapa buah yang harus diambil. Jika keluar angka 5, maka pemain tersebut harus mencari tempat di mana ada sebanyak 5 buah dengan warna yang sama dalam satu garis horizontal atau vertikal.

“Cuki berasal dari kata ‘di-cuk-i’ dalam bahasa Palembang, yang berarti diambil. Jadi buahnya diambil satu-satu. Penentuan pemenangnya adalah siapa yang paling banyak memiliki buah cuki,” jelasnya.

Yunus mengatakan, permainan ini diyakini hanya dapat dimainkan oleh para bangsawan pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Selain itu, ini juga sebagai alat untuk menyusun strategi perang pada jamannya

“Permainan ini membutuhkan ketelitian, keterampilan, dan strategi. Sehingga cuki diyakini juga digunakan sebagai alat untuk menyusun strategi perang pada zamannya,”

Cuki kembali naik ke permukaan setelah Komunitas Pecinta Antik Kebudayaan Sriwijaya (Kompaks) menemukan batu-batu di Sungai Musi yang diyakini sebagai buah dalam permainan ini.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

“Cuki ini kembali populer setelah Kompaks menemukan batu yang ada di Sungai Musi di kedalaman 7-9 meter. Ini ditemukan sekitar 2-3 tahun lalu bersama dengan tembikar dari zaman Dinasti Ming. Berawal dari situlah, permainan ini dipopulerkan kembali,” jelasnya.

“Di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Balaputradewa juga tersimpan total 3 unit papan cuki. Dengan penemuan batu ini, kami melakukan pameran tunggal. Alhamdulillah ada peminatnya,” kata dia.

Salah satu penggiat cuki Raden Syarifah (68) bercerita pengalamannya bermain sejak remaja. Ia merasa senang mengetahui cuki kembali muncul ke permukaan.

“Aku senang sekali saat permainan ini kembali dipopulerkan.Jadi bermain lagi di rumah, tidak pernah lupa caranya walaupun sudah bertahun-tahun,” ungkapnya antusias.

Selain melatih ketangkasan otak, kata Syarifah, permainan ini membuatnya nostalgia masa-masa di mana rumahnya dipenuhi riuh ramai-ramai keluarga yang bermain cuki di saat tak ada kegiatan. Dulu, ia lah yang menyimpan papan dan buah permainan agar tetap tersimpan rapi.

“Aku main dari remaja. Kalau keluarga sudah main, aku yang menyimpannya. Sampai sekarang masih ku simpan meski kaki papannya sudah reot, aslinya dibuat pakai kayu unglen asli Palembang,” jelasnya.

“Aku dulu mainnya bersama ibu, uak, dan bibi. Biasanya main pada malam hari, seperti setelah makan malam atau pukul 03.00 WIB. Dari 8 bersaudara, aku yang masih main,” ujar Syarifah.

Wanita yang masih memiliki garis keturunan bangsawan tersebut mengaku bangga bisa ikut andil dalam melestarikan permainan cuki. Ia berharap, banyak generasi muda yang turut bermain agar cuki tak hilang dimakan jaman.

“Bangga, dong! Bangga sekali karena masih bisa melestarikan permainan cuki. Sudah aku turunkan ke generasi penerus di keluarga supaya kalau aku sudah tidak ada, cuki tetap dimainkan,” tutupnya.

Generasi selanjutnya yang dimaksud ialah Rosidah (26). Tak kalah dari Syarifah, ia kini sudah lihai bermain cuki meski harus melawan wanita yang kerap ia sapa uak tersebut.

Ros mengaku awalnya merasa kesulitan, terlebih tak ada teman sepantaran yang mengerti permainan jadul tersebut. Namun, permainan mahir Syarifah menyita hingga ia tertarik untuk belajar.

“Awalnya tidak tahu cara mainnya. Bingung, tapi akhirnya bisa juga. Kalau menang, jadi ketagihan main lagi,” ujarnya.

“Sudah pernah ajarin tetangga dan teman-teman. Tapi mereka agak lama mereka bisa paham dan akhirnya tidak tertarik,” tambah Ros.

Dia berharap, semakin banyak anak muda yang ikut melestarikan permainan Cuki. Bagaimanapun, kata dia, generasi mudalah yang dapat berperan besar agar cuki terus lestari.

“Semoga semakin banyak yang bermain cuki. Tidak hanya generasi lama yang sudah bermain sejak lama, tapi generasi baru supaya cuki terus ada sebagai permainan lokal Sumsel,” harapnya.